Pada mula penggunaan kata “culture” pada bahasa Inggris, kata ini diasosiasikan dengan kata “cultivation” (terkait kata “cult” / “cara memuja”) dari hewan dan berkaitan dengan penyembahan religius (religious worship).
Sejak abad 16 – 19, kata “culture” mulai diterapkan secara luas pada peningkatan (improvement) pikiran manusia secara individu. Hal ini tampak dari praktek berladang yang semakin meningkat.
Pada periode yang sama pula, kata “culture” mulai merujuk pada peningkatan masyarakat sebagai satu kesatuan. Di sini kata “culture” digunakan sebagai padanan kata yang mengandung nilai (a value-laden synonym) bagi “civilization” atau “peradaban”. Maka kata “culture” juga memuat sejumlah perbedaan, seperti teknologi, moral dan sikap.
Saat revolusi industri, bangkit pula romantisisme. Pada saat itu “culture” menandakan perkembangan spiritual (spiritual development) yang berbeda dari perubahan material dan infrastruktur. Selain itu, muncul pula perubahan di mana hidup keseharian dan tradisi tertentu yang diberi penekanan (accented tradition) sebagai dimensi-dimensi budaya. Hal ini terlihat dari gagasan tentang “folk culture” dan “national culture” yang berkembang.
Menurut Raymond Williams dalam bukunya, Keywords,[1] berbagai perubahan makna kata “culture” dalam sejarah dapat dipetakan dalam 3 penggunaan, yaitu:
Sedangkan penggunaan nomor 3 dianggap paling utama di kalangan para antropolog abad 20. Sebuahinterpretasi dianggap netral terhadap nilai (value-neutral) dan bersifat analitis. Mereka berpendapat bahwa “culture” ditemukan di mana saja dan tidak hanya pada bentuk seni tertinggi atau dalam kata “civilization” di dunia Barat.
Kroeber dan Kluckhohn dalam bukunya, Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions, mendefinisikan makna kata “culture” ke dalam 6 tipe definisi:
Pemahaman tentang “culture” telah berganti dalam cara yang subtil dalam bidang teori budaya. Smith melihat pemahaman tentang “culture” dalam 4 tema besar:
Catatan akhir:
[1] Williams, Raymond, 1976, Keywords, New York: Oxford University Press, hlm. 80.
[2] Kroeber , A. L. dan Kluckhohn, Clyde, 1952, Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions,Cambridge : MA. Peabody Museum, hlm. 43.
[3] Ibid., hlm. 47.
[4] Ibid., hlm. 50.
[5] Ibid., hlm. 52.
[6] Ibid., hlm. 61.
Sumber : Philip Smith, Cultural Theory, Blackwell Publishing, 2004
Sejak abad 16 – 19, kata “culture” mulai diterapkan secara luas pada peningkatan (improvement) pikiran manusia secara individu. Hal ini tampak dari praktek berladang yang semakin meningkat.
Pada periode yang sama pula, kata “culture” mulai merujuk pada peningkatan masyarakat sebagai satu kesatuan. Di sini kata “culture” digunakan sebagai padanan kata yang mengandung nilai (a value-laden synonym) bagi “civilization” atau “peradaban”. Maka kata “culture” juga memuat sejumlah perbedaan, seperti teknologi, moral dan sikap.
Saat revolusi industri, bangkit pula romantisisme. Pada saat itu “culture” menandakan perkembangan spiritual (spiritual development) yang berbeda dari perubahan material dan infrastruktur. Selain itu, muncul pula perubahan di mana hidup keseharian dan tradisi tertentu yang diberi penekanan (accented tradition) sebagai dimensi-dimensi budaya. Hal ini terlihat dari gagasan tentang “folk culture” dan “national culture” yang berkembang.
Menurut Raymond Williams dalam bukunya, Keywords,[1] berbagai perubahan makna kata “culture” dalam sejarah dapat dipetakan dalam 3 penggunaan, yaitu:
- Merujuk pada perkembangan intelektual, spiritual dan estetis dari individu, kelompok atau masyarakat.
- Menangkap seluruh aktivitas intelektual dan artistik serta produknya, seperti film, seni dan teater. Penggunaan kata “culture” di sini sinonim dengan kata “arts”.
- Menandakan seluruh cara hidup (way of life), aktivitas, kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan(customs) dari manusia, kelompok atau masyarakat.
Sedangkan penggunaan nomor 3 dianggap paling utama di kalangan para antropolog abad 20. Sebuahinterpretasi dianggap netral terhadap nilai (value-neutral) dan bersifat analitis. Mereka berpendapat bahwa “culture” ditemukan di mana saja dan tidak hanya pada bentuk seni tertinggi atau dalam kata “civilization” di dunia Barat.
Kroeber dan Kluckhohn dalam bukunya, Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions, mendefinisikan makna kata “culture” ke dalam 6 tipe definisi:
- Definisi deskriptif. Definisi macam ini melihat “culture” sebagai susunan/ gugusan total dan komprehensif dari kehidupan sosial (social life) serta berbagai bidang yang menyusun budaya. Untuk memahami definisi ini, kita bisa berangkat dari definisi yang diberikan Tylor di tahun 1871: “Culture or civilization ... is that complex whole which includes knowledge, belief, art, laws, morals, customs and many other capabilities and habits acquired by man as a member of society.”[2] Definisi Tylor ini memuat gagasan (seni, moral dan hukum) dan aktivitas (custom, habit).
- Definisi historis. Definisi ini melihat “culture” sebagai warisan budaya yang telah melintasi waktu melalui generasi yang satu ke generasi lainnya. Contoh definisi dari Park dan Burgess (1921) : “The culture of a group is the sum total and organization of the social heritages which have acquired a social meaning because of racial temperament and of the historical life of the group.”[3]
- Definisi normatif. Definisi ini mengambil 2 bentuk. Pertama, “culture” sebagai aturan atau cara hidup yang membentuk pola-pola perilaku konkret dan tindakan. Contoh definisi dari Wissler : “The mode of life followed by the community or the tribe is regarded as a culture ... the aggregate of standardized belief and procedures followed by the tribe.”[4] Kedua, bentuk definisi yang menekankan peran nilai-nilai (the role of values) tanpa merujuk kepada perilaku. Contoh definisi dari W.I. Thomas : cultureadalah “the material and social values of any group of people, whether savage or civilized.”[5]
- Definisi psikologis. Definisi jenis ini menekakan peran “culture” sebagai alat pemecah masalah (a problem-solving device), yang mengizinkan manusia untuk berkomunikasi, belajar, memenuhi kebutuhan-kebutuhan materil dan emosional.
- Definisi struktural. Definisi macam ini menekankan “organized interrelation of the isolable aspects of culture”[6] serta fakta bahwa “culture” merupakan sebuah abstraksi yang berbeda dari perilaku konkret.
- Definisi genetis mendefiniskan “culture” dalam arti bagaimana budaya bereksistensi atau eksis secara berkelanjutan. Definisi ini sedikit terkait dengan biologi, tapi lebih cenderung menjelaskan “culture” sebagai kebangkitan dari interaksi manusia atau keberlanjutan untuk eksis sebagai produk dari transmisi antar generasi.
Pemahaman tentang “culture” telah berganti dalam cara yang subtil dalam bidang teori budaya. Smith melihat pemahaman tentang “culture” dalam 4 tema besar:
- Budaya cenderung dipertentangkan dengan hal-hal yang sifatnya material, teknologis dan struktur sosial. Kita bisa saja melihat relasi empiris yang kompleks antara budaya dengan segala hal yang sifatnya material, teknologis dan struktural sosial. Tapi Smith juga melihat bahwa kita butuh memahami budaya sebagai sesuatu yang berbeda dari, sekaligus lebih abstrak dari, keseluruhan caya hidup / “way of life”.
- Budaya dilihat sebagai bentuk nyata dari yang ideal, yang spiritual, dan yang non-material. Budaya dipahami sebagai bidang yang berpola dari kepercayaan-kepercayaan, nilai, simbol, tanda dan wacana.
- Tekanan ditempatkan pada otonomi budaya / “autonomy of culture”. Menurut Smith, inilah fakta bahwa budaya tidak bisa dijelaskan hanya sekadar refleksi tentang pendasaran kekuatan ekonomi, distribusi kekuatan atau kebutuhan-kebutuhan struktural sosial.
Catatan akhir:
[1] Williams, Raymond, 1976, Keywords, New York: Oxford University Press, hlm. 80.
[2] Kroeber , A. L. dan Kluckhohn, Clyde, 1952, Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions,Cambridge : MA. Peabody Museum, hlm. 43.
[3] Ibid., hlm. 47.
[4] Ibid., hlm. 50.
[5] Ibid., hlm. 52.
[6] Ibid., hlm. 61.
Sumber : Philip Smith, Cultural Theory, Blackwell Publishing, 2004